Sabtu, 11 Juni 2011

KISAH "Saat Anak Berhenti Tersenyum"



BELAKANGAN ini, pelecehan dan kekerasan seakan menjadi bahasa sehari-hari yang sering kita dengar di media massa. Bagi Anda yang menyayangi anak-anak, ketika mendengar kata pelecehan dan kekerasan pada anak-anak, mungkin Anda langsung membayangkan tentang caci maki, pelecehan seksual, dan kekerasan fisik pada anak.

Pada kenyataannya, pelecehan pada anak-anak tidak hanya sebatas itu, pelecehan tanpa disadari banyak dilakukan oleh para orang tua. Dengan melarang seorang anak melakukan hal-hal yang disukainya saja sebenarnya kita sudah melakukan pelecehan secara psikologis terhadap anak-anak.

Anda mungkin berpikir pelarangan tersebut (misalnya melarang anak bermain pasir) Anda tujukan untuk kebaikan sang anak juga. Namun Anda tidak menyadari bahwa pelarangan tersebut tidak hanya membatasi kebebasan sang anak, tetapi juga berdampak pada psikologisnya. Sang anak menjadi takut untuk melakukan sesuatu, inisiatif dan daya kreasinya menjadi tumpul karena anak harus menunggu persetujuan Anda sebagai orang tua agar mereka diizinkan melakukan sesuatu yang mereka inginkan.

Ketika Anda membaca buku-buku yang menceritakan tentang kekerasan pada anak-anak, Anda akan menemukan bahwa tidak semua anak diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Ada sebagian anak yang mendapatkan kekerasan fisik akibat perbuatan yang tidak sengaja mereka lakukan, misalnya mengompol. Kekerasan secara fisik tidak hanya akan melukai fisik anak, tetapi juga akan mengganggu perkembangan mental sang anak, terutama karena mereka belum memahami sepenuhnya mengapa mereka diperlakukan semena-mena.

Di Indonesia hampir di setiap sudut jalan dapat kita temukan anak-anak jalanan. Dalam hati kecil kita pasti heran, kenapa anak-anak tersebut dibiarkan berkeliaran begitu saja di pinggir jalan dalam keadaan tak terurus. Jangankan mendapat kasih sayang, uang saja mereka harus mencari sendiri.

Sebenarnya kalau membicarakan tentang undang-undang, di Indonesia sudah ada pasal yang mengatur tentang anak-anak yang telantar seperti itu, yaitu Pasal 34 UUD 1945, tetapi sampai sekarang pelaksanaannya masih patut dipertanyakan. Sudah menjadi rahasia umum kalau pelaksanaan undang-undang di Indonesia tidak tegas, hanya sebatas teori belaka.

Belakangan sering terdengar tentang kekerasan pada anak tidak hanya sebatas pukulan dan tamparan, tetapi berkembang pada pelecehan seksual dan pemerkosaan. Pandangan kuno masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa hanya wanita berpenampilan seksi atau berpakaian terbuka saja yang bisa menjadi korban perkosaan. Pandangan tersebut tentu saja salah dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman saat ini.

Tidak hanya wanita yang berpakaian terbuka yang bisa menjadi korban perkosaan, anak-anak pun tak luput dari kejahatan semacam itu. Kalau dulu kita masih akan terheran-heran mendengar tentang perkosaan ayah terhadap anak kandungnya. Sekarang berita semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Di televisi dan surat kabar berita semacam itu sudah tidak ditutup-tutupi lagi.

Sayang sekali tidak banyak orang tua yang mempersiapkan anak-anaknya menghadapi pelecehan seksual semacam itu. Seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak. Padahal seharusnya anak-anak diberikan pengetahuan tentang seks yang sesuai dengan usianya agar apabila suatu saat sang anak mendapat "perlakuan yang tidak seharusnya" dapat segera melapor kepada orang tuanya. Kebanyakan anak yang mendapat pelecehan seksual memilih untuk bungkam. Alasan eksternal dari kebungkaman itu tentu saja karena sang anak mendapat ancaman dari sang pelaku. Namun di balik itu terdapat alasan dari diri sang anak juga. Sang anak takut kalau ia tidak disayang lagi setelah orang-orang tahu ia mendapat pelecehan seksual.

Mungkin alasan tersebut terdengar lucu di telinga kita. Tetapi rupanya pikiran seorang anak jauh berbeda dengan pikiran orang dewasa. Walaupun belum memahami sepenuhnya tentang "sesuatu" yang telah terjadi pada dirinya, sebagai manusia seorang anak mempunyai naluri dan mencium ketidakberesan yang telah diperbuat orang terhadap dirinya. Setelah mendapat perlakuan yang tidak senonoh (misalnya perkosaan), seorang anak merasa ada yang hilang dari dirinya atau ada sesuatu yang salah telah menimpanya.

Beban yang diderita seorang anak perempuan yang baru saja diperkosa bukan sebatas rasa sakit pada alat kelaminnya, tetapi juga rasa malu dan sakit hati yang harus dideritanya seumur hidup, terutama setelah dewasa, ketika ia kemudian mengetahui apa yang telah menimpa dirinya secara jelas. Ironisnya, sebagian besar pelaku pemerkosaan pada anak adalah kerabat dekat atau orang yang sudah dikenal baik oleh sang anak. Orang yang selama ini disayangi oleh mereka (anak-anak tersebut) tiba-tiba berubah menjadi "monster" yang telah mengambil harga diri anak-anak tersebut.

Kejahatan terhadap anak-anak dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Asalkan ada kesempatan sang pelaku tidak segan-segan memuaskan nafsu berahinya terhadap anak-anak. Yang mengherankan, tidak hanya anak perempuan yang bisa menjadi korban pelecehan seksual. Survei yang dilakukan Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo (PKT RSCM), dari seluruh kasus pelecehan (kekerasan) seksual pada anak, terdapat sekian persen anak laki-laki yang menjadi korban kasus pencabulan atau sodomi.

Di Indonesia sebenarnya telah dibuat undang-undang tentang kekerasan pada anak, misalnya Pasal 287 KUHP, yakni tentang persetubuhan anak di bawah umur dan Pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur. Namun patut disayangkan, kejahatan seksual pada anak seperti ini seperti dianggap angin lalu saja karena hukuman yang diberikan terhadap pelakunya sama sekali tidak sebanding dengan rasa sakit dan malu yang harus ditanggung sang anak seumur hidupnya. Pasal 287 KUHP saja mematok hukuman maksimal 9 tahun atas kejahatan seksual pada anak tersebut.

Kekerasan pada anak memang topik yang tidak ada habis-habisnya untuk dibicarakan, karena orang tua yang "normal" atau menganggap anak sebagai harta tak ternilai tidak akan sampai kepada pikiran mengapa kejahatan seksual dilakukan pada anak-anak, masa di mana seorang manusia sedang tumbuh dengan lucu-lucunya. Dalam hal ini mencari tahu sebab-sebab pelaku melakukan kejahatan seksual bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah menghindarkan anak dari pengetahuan seks yang tidak sehat.

Seperti yang diungkapkan oleh Gede Prama, anak-anak adalah gerbong kehidupan yang membawa cinta kasih. Apa yang Anda lakukan bersama anak-anak akan dikenang terus oleh mereka di kemudian hari.(Myrna mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad.)

Sumber : Harian Pikiran Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More